Senin, 01 Desember 2014

Panas Bumi Jadi 'Senjata' RI Kurangi Tingkat Karbon

Total panas bumi RI mencapai 28.617 MW, baru dipakai 1.341 MW.

 Sumur energi panas bumi di Areal Gas Alam Patuha Jawa Barat
Sumur energi panas bumi di Areal Gas Alam Patuha Jawa Barat (Antara/ Novrian Arbi)
VIVAnews - Indonesia mendapat dukungan untuk komitmen menurunkan tingkat karbonisasi (dekarbonisasi) dengan menerapkan kebijakan energi keberlanjutan di berbagai sektor. 


Dukungan itu disampaikan dalam peserta forum workshop Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan bersama United Nation-Sustainable Development Solution Network (UN-SDSN).

"Dari hasil workshop ini UN-SDSN sepakat untuk bekerja sama melahirkan berbagai program yang bisa membantu Indonesia mencapai target dekarbonisasi,” kata I.B Putra Prathama, Senior Advisory Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI pada penutupan workshop di Jakarta, kemarin.

Forum itu menyepakati dekarbonisasi di sektor transportasi, energi, turisme, perkotaan dan pulau kecil. 

Putra mengatakan, peluang untuk menekan dekarbonisasi melalui sektor energi cukup tinggi, karena Indonesia mempunyai sumber energi ramah lingkungan yang sangat besar seperti panas bumi dan biofuel. 

“Kita terbesar di dunia,” kata Putra.

Diperkirakan, total panas bumi di Indonesia mencapai 28.617 Megawatt (MW) dan sampai saat ini baru dimanfaatkan 1.341 MW. Indonesia masih kalah dibandingkan Filipina yang telah memanfaatkan 1.904 MW panas bumi. 

Menurut Putra, peluang Indonesia meningkatkan penggunaan panas bumi terbuka luas, setelah pemerintah mengeluarkan Undang-undang No.21 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Panas Bumi. 

Sedangkan untuk biofuel, lanjut Putra, Indonesia mempunyai 11 spesies tanaman yang bisa diolah menjadi biomassa untuk menghasilkan biofuel seperti etanol dan metanol.

“Sebagian besar dari spesies itu tidak terkait dengan tanaman pangan,” katanya.
Seperti diketahui, Indonesia telah menyatakan komitmennya untuk menurunkan tingkat korbonisasi sampai 26 persen pada 2020 mendatang.
Untuk mencapai target itu, menurut leader council UN-SDSN, Mari Pangestu, sektor energi bisa berperan cukup besar untuk penggunaan sumber energi yang ramah lingkungan dan manajemen pengelolaan energi di sektor transportasi, industri, gedung-gedung, sampai rumah tangga. 
“Meski bukan penyumbang terbesar terhadap karbonisasi atau emisi CO2, sektor energi bisa berkontribusi," kata Mari.
Standar Listrik Kota
Mari menambahkan Indonesia juga berpeluang untuk menurunkan emisi CO2 melalui penataan perkotaan dan sumber energi di pulau-pulau kecil. Sampai saat ini, Indonesia belum mempunyai standarisasi penggunaan listrik di perkantoran atau gedung-gedung seperti negara lain.

Sementara, di kota-kota besar, 30 persen konsumsi listrik untuk perkantoran dan gedung-gedung. 

Untuk itu, ia mengajak penekanan konsumsi listrik dengan menerapkan standarisasi untuk gedung-gedung melalui sistem sertifikasi. 

"Bagi mereka yang bisa mencapai standar tertentu akan diberi insentif, sementara yang tidak bisa mencapai standar minimal dikenakan sanksi,” kata mantan Menteri Parekraf ini.

Untuk kepulauan terpencil dan pulau kecil,diharapkan pemerintah mendorong berdirinya pembangkit listrik dengan sumber energi terbarukan atau ramah lingkungan sesuai dengan kondisi masing-masing wilayah. 

“Kita akan melakukan pemetaan potensi dan UN-SDSN telah mendapat komitmen dari Skotlandia sebagai negara yang mempunyai pengalaman luas di bidang ini siap membantu Indonesia,” kata Mari.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar